Membumikan Budaya dalam Pesan PR

Friday, November 23, 2012 16:53 WIB

Kandi Windoe dari Irish and Ortocomm Communication Agency Jakarta sedang menyampaikan materi dan pengalamannya terkait Public Relations 

         Bertempat di ruang sidang Prodi Ilmu Komunikasi, Eskalator PR Community kembali mengadakan kegiatan diskusi rutin setelah beberapa waktu lalu juga sempat mengadakan kegiatan yang sama. Diskusi yang mengusung tema "Common Sense is Not So Common", mendatangkan pemateri dari  Irish and Ortocomm Communication Agency Jakarta, Kandi Windoe. Kandi adalah PR senior yang telah melakoni profesi sebagai PR selama kurang lebih 18 tahun.  Kegiatan ini sengaja dilakukan guna memberikan pemahaman mengenai Public Relations dalam dunia kerja.

Pada acara diskusi kali ini, Kandi Windoe menjelaskan tentang perkembangan dunia Public Relations yang tidak lagi dapat berdiri sendiri, melainkan telah terintegrasi dengan disiplin ilmu lainnya, tanpa terkecuali budaya. Hal ini dikarenakan untuk menciptakan sebuah brand diperlukan konsep yang matang yaitu konsep memiliki pesan yang menarik. “Integration Communication itu sudah tidak asing lagi dalam perkembangan dunia PR. Sebagai orang-orang yang akan berkecimpung di dunia komunikasi kita harus mempelajari ATL sebagai awareness, PR yang bercerita dan event untuk enggagement, karena itulah yang akan dicari dunia komunikasi nantinya,” ujar wanita kelahiran Kanada ini.

Kembali menumbuhkan rasa cinta pada budaya lokal merupakan trend baru dalam pengemasan pesan untuk memperkokoh positioning brand. Sesungguhnya pengemasan pesan dapat dilakukan dengan sederhana namun memiliki rasa. “Rasa itu diibaratkan sebagai nyawa dari sebuah pesan, bahkan dalam simplicity siapapun bisa berkreasi. Tanpa terkecuali dengan mengeksplorasi kekayaan budaya Nusantara,” jelas Kandi.

            Disela-sela diskusi Kandi juga menayangkan beberapa iklan video dari perusahaan ternama yang pernah digarap bersama timnya, seperti BNI dan Astra Internasional. “Kekuatan pesan yang dibungkus melalui budaya merupakan satu hal yang tidak akan pernah habis untuk dieksplorasi. Poin pentingnya adalah dalam membuat sebuah produk komunikasi harus memiliki ide yang inovatif tapi tetap harus menjaga orisinalitas budaya bangsa,” tambahnya. 

            Diakhir diskusi Kandi menuturkan jika sebagai pemuda generasi penerus bangsa yang potensial jangan pernah meninggalkan budaya bangsa yang beragam. Karena dengan adanya cross culture itulah yang kemudian menjadikan pesan itu semakin menarik.  “Kenali potensi kalian. Kalian itu punya akal, punya common sense dan yang harus lebih dikembangkan itu adalah rasa percaya diri,” pesannya kepada semua peserta diskusi. (arind)

 

 Budaya diskusi di kalangan dosen dan mahasiswa sepertinya sudah menjadi tradisi yang mengakar kuat di jurusan Ilmu Komunikasi UMM. Jika di kampus lain mungkin tak banyak komunitas atau kelompok belajar yang senantiasa didampingi dosen dalam kegiatan diskusinya, namun di lingkup jurusan Ilmu Komunikasi UMM, hal itu nampak berbeda. Hubungan dosen dan mahasiswa terlihat lebih egaliter. Mahasiswa pun tak segan untuk mengajak dosennya berdiskusi meski hanya berteman secangkir kopi atau sepiring ketan bubuk.

Diskusi mahasiswa dan dosen ini sering digelar seperti misalnya yang diadakan oleh 3Pod dan Kociris. Tak tanggung-tanggung, ketua jurusan pun bersedia untuk turun langsung mendampingi diskusi. Misalnya diskusi bertema bebas yang diadakan oleh 3POD production pada beberapa waktu lalu yang dihadiri oleh kawan-kawan dari 3POD  dan Kajur Ilmu Komunikasi, Nurudin. Diskusi tersebut dilaksanakan di Alun-Alun Batu dan menikmati sepiring ketan bubuk dan secangkir kopi.

Pembahasan diskusi tersebut semakin menarik ketika membahas struktur kepengurusan di 3POD untuk mencari sebuah regenerasi dan pentingnya publikasi selanjutnya agar tetap bisa menjadi bagian dari komunitas-komunitas yang ada di Ilmu Komunikasi UMM. Nurudin mengatakan 3POD tidak memiliki regenerasi, sehingga sangat sulit untuk mengikuti sebuah event yang sering diadakan oleh komunitas-komunitas yang ada di Ilmu Komunikasi. “Kendala lain yang terjadi di 3POD adalah masalah publikasi yang kurang, sehingga sebagian mahasiswa-mahasiswa Ilmu Komunikasi tidak mengetahui komunitas 3POD ini. Saya berharap 3POD bisa melakukan regenerasi agar komunitas ini tidak hilang meski anggotanya sudah lulus kuliah,”ungkap Nurudin.

Selain diskusi 3POD, Kociris sebagai salah satu komunitas termuda di jurusan, juga sering mengadakan diskusi. Kociris Club yang merupakan singkatan dari Komunikasi Cinta Riset ini memiliki tiga wadah diskusi, yaitu diskusi club untuk para skripser (mahasiswa semester akhir yang sedang menyelesaikan skripsi), Kociris study club untuk angkatan 2010-2011, dan Kociris Muda untuk angkatan 2009. Namun dalam kurun beberapa bulan terakhir ini, Kociris Club skripser yang sangat aktif menggelar diskusi. Diskusi yang didampingi oleh dosen muda Ilmu Komunikasi, Winda Hardyanti, sering diadakan di luar kampus, tepatnya di Café Halte dekat kampus pascarjana UMM. Selain di Café Halte, Kociris Club Skripser juga beberapa kali mengadakan diskusi di warkop-warkop belakang kampus yang didampingi Arief Hidayatullah, dosen Ilmu Komunikasi. Semester ini, sejumlah anggota Kociris Club sripser yang aktif berdiskusi pun telah berhasil menyelesaikan skripsinya dan sudah diwisuda pada Mei lalu “Diskusi itu tak selalu harus berformat formal. Dengan diskusi non formal sambil ngopi namun tetap ilmiah, mahasiswa punya  kesempatan untuk belajar lebih banyak ilmu dan bagi dosen itu adalah upaya yang efektif untuk menyampaikan keilmuannya,”ujar Winda. (nadz)

Sumber: Communication Newsletter/Juni 2012

 

Shared: