• komunikasi.umm.ac.id

SERUNYA JADI JURNALIS: Populer Sebagai Jurnalis Bencana, Hampir Mati Saat Gempa Nepal

Rabu, 13 Mei 2020 12:25 WIB

Menjadi jurnalis televisi adalah impian David Bahtiyar Rizal, alumni Ilmu Komunikasi FISIP UMM angkatan 2007, sejak kecil. Konon, jika anak kecil sebelum berangkat sekolah nonton kartun dulu, hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh reporter dan produser Liputan 6 SCTV ini. ‘Sarapan’nya setiap pagi sebelum berangkat sekolah adalah nonton berita di TV. Sejak kecil orang tua David memang ingin sekali David bisa menjadi news presenter seperti Bayu Setiono, news presenter favorit ibu David. Kisah impian David ini terungkap saat Alumni Sharing Session bertajuk ‘The Perks of Being Broadcaster’ yang diadakan Prodi Ilmu Komunikasi pada Selasa,12 Mei 2020 lalu.

Karir David sebagai reporter SCTV dimulai dari SCTV Goes To Campus yang ia ikuti saat semester 8. Tapi sayang, saat itu ia hanya mendapat posisi juara dua. Kecewa, pasti. Sebab yang bisa menjadi lolos ke Jakarta dan menjadi presenter adalah yang juara pertama. “Tapi ternyata waktu itu juara pertama mengundurkan diri karena setelah lulus kuliah dia mau nikah. Akhirnya mas Jeremy Teti kontak saya dan meminta saya untuk siap ke Jakarta. Saat itu saya lagi skripsi, akhirnya yang awalnya santai-santai, jadi ngebut mengerjakan. Alhamdulillah lulus sih,”ungkapnya sambil tertawa.

David Rizal terkenal sebagai jurnalis bencana. Namanya selalu menjadi pilihan pertama di redaksi ketika ada peristiwa bencana. Bahkan saat ada gempa Ia mengaku semua bencana besar sudah pernah ia liput, mulai dari gempa dan tsunami di Palu, jatuhnya pesawat Lion Air, gempa di Pidi Jaya, dll. Bahkan ketika ia harus meliput gempa di Nepal tahun 2015, ia hampir kehilangan nyawa. Dia menginap di sebuah hotel yang hampir rubuh ketika terjadi gempa susulan. Efek trauma terhadap getaran gempa masih ia rasakan ia sekarang. Namun baginya itu adalah resiko profesi. Dalam meliput berita bencana juga ada beberapa patokan yang ia pegang teguh, yang pertama adalah humanism. Misalnya saat memberitakan covid-19, ada beberapa do and don’t yang menjadi patokan. Salah satunya adalah tidak boleh mengeksploitasi kesedihan. Cukup men-twist anglenya menjadi human interest yang menimbulkan empati tanpa mengeksplotasi kesedihan korban.

Dalam sesi ini sejumlah peserta sharing session juga berkesempatan untuk berinteraksi langsung. Adinda, salah satu peserta, menanyakan bagaimana tips untuk menghindari filler word saat berbicara di depan publik. Menurut David, penguasaanknowledge sebelum berbicara sangat penting untuk menghindari filler word. Olivia Anisa, peserta yang lain juga menanyakan bagaimana ritme kegiatan jurnalis televisi. “Saya memulai aktivitas sejak jam 3 pagi karena jadwal saya siaran pagi sampai jam 5 sore. Tidak hanya sekedar siaran namun juga melakukan aktivitas dubbing, motong video liputan, dll. Capek sih tapi asyik sekali apalagi kalau sudah turun lapangan. Hal yang menyenangkan bagi jurnalis adalah saat liputan di lapangan, bisa bertemu banyak orang dan hal-hal baru,”tutur pria asal Bondowoso ini. Banyak pengalaman menarik yang terjadi saat ia menjadi news presenter. Tak hanya pengalaman serius saja tapi juga pengalaman konyol. Yang paling ia ingat adalah saat tiba-tiba ngeblank lupa nama sendiri. “Itu gara-gara saya datang lima menit sebelum on air, waduh tak terlupakan,”imbuhnya. (wnd)

Shared: