Alumni Komunikasi UMM Berani Rebut “Ruang Gelap” di Aceh
Kamis, 07 Mei 2020 10:18 WIB
Satu lagi alumni Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berbagi sesi dengan dosen, mahasiswa dan sesama alumni. Lewat sebuah seminar online (webinar), kali ini giliran filmmaker asal Aceh, Jamaluddin Phonna. Alumni UMM angkatan 2009 ini bicara tentang dunia film dokumenter yang ditekuninya, Rabu (6/5/2020). Sharing session dipandu moderator dosen Komunikasi UMM, Novin Farid Styo Wibowo.
Sepanjang pengalamannya, Jamal mengaku banyak memperoleh tantangan dan ilmu baru di lapangan. Meski demikian, ilmu-ilmu dari kelas perkuliahan dan Laboratorium Komunikasi UMM sangat membantu sebagai modal untuk berkarya. Apalagi berkat pertemanannya dengan sesama mahasiswa UMM yang lebih dulu sukses mengikuti berbagai festival film dokumenter.
Pemenang film terbaik pilihan juri dalam Eagle Awards Metrotv 2011 ini mengungkapkan minatnya pada film dokumenter karena panggilan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh. Dalam film dokumenter berjudul “Garamku tak Asin Lagi”, misalnya, Jamal mengangkat perjuangan petani garam tradisional melawan kartel impor garam di Aceh.
“Ini bukan hanya soal film dokumenter, tapi tentang nasib petani garam yang harus disuarakan,” ungkap produser dan pendiri Aceh Documentary ini.
Seorang petani yang janda ditinggal suaminya sebagai korban kekerasan militer di Aceh harus berjuang mempertahankan cara tradisional dalam bertani garam. Demi masa depan anak-anaknya dia tidak memedulikan masa lalu yang kelam. Sikap menerima nasib sebagai petani dan keengganan melawan importir besar membuat Jamal tertarik mengangkat alasan di balik perjuangannya itu.
“Orang Aceh itu gampang move on tetapi fokus untuk masa depan. Tidak banyak yang mempermasalahkan masa lalunya. Yang penting buat mereka adalah masa depan anak-anaknya. Dengan bertani garam saja sudah merasa nyaman. Padahal sayang kan, kualitas garam yang lebih bagus itu harus dikalahkan oleh import,” kilah Jamal tentang filmnya itu.
Lewat film Jamal ingin membangun kesadaran baru masyarakat dan pemerintah Aceh. Untuk itulah dia memilih kembali ke kampung halaman walau sempat mengenyam enaknya bekerja di Jakarta. “Saya tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berkarya di kampung halaman selagi kesempatan itu ada. Apalagi orang tua saya memang di sini,” tutur Jamal.
Kondisi Aceh bagi Jamal sangat menantang. Selain karena bekas wilayah konflik yang dipenuhi pengalaman kekerasan militer, wilayah ini juga sempat dilanda tsunami terbesar sepanjang sejarah pada tahun 2004. Pasca perdamaian tahun 2005, Aceh memang relatif lebih baik, tetapi tantangan untuk mengembangkan perfilman di sana tidaklah mudah.
“Aceh menerapkan syariat Islam. Masyarakat masih memandang film sebagai dunia yang tak telalu bagus. Bioskop dianggap sebagai tempat maksiat atau sebagai ‘ruang gelap’”, kilah Jamal menceritakan susahnya membangun ekosistem sinematografi di sana.
Bagi Jamal, hal itu menjadi tantangan tersendiri. Bersama teman-temannya dia terpanggil untuk merebut “ruang gelap” itu sebagai tempat yang edukatif dan inspiratif. Merubah konotasi bioskop yang negatif menjadi positif.
“Membangun kesadaran inilah hal yang paling sulit karena pengalaman sinematik masyarakat memang sempat hilang. Lama sekali tidak mengenal dunia film di Aceh. Jadi kami harus bekerja keras,” terang filmmaker yang sukses memproduksi film-film dokumenter berkualitas ini.
Perlahan, Jamal mengumpulkan anak-anak yang pernah suka nonton film. Diajak nonton pemutaran film dokumenternya. Akhirnya diajak bikin film. “Membangun komunitas film sangat susah. Sumberdaya terbatas. Di situlah saya tertantang dan membangun Aceh Documentary Competition yang saya modifikasi dari pengalaman mengikuti Eagle Award Metrotv,” kata Jamal. Minimnya sumberdaya filmmaker membuatnya harus melibatkan teman-teman bahkan dosennya untuk ikut memberi workshop di Aceh.
Memang ada kabar bahwa akan dibangun bioskop di sebuah mall baru di Aceh, tapi bagi Jamal itu bukan jaminan film Aceh akan berkembang. Sebab biasanya bioskop-bioskop hanya akan memutar film-film Jakarta atau film asing. Film lokal belum memperoleh tempat untuk kepentingan komersial. Itulah sebabnya dia harus berjuang agar film-filmnya setidaknya dapat diputar kepada masyarakat umum, bukan untuk industri, tetapi untuk membangun kesadaran, pencerahan.
Sumber: Lab Ilmu Komunikasi UMM
Dalam sharing itu juga diungkap berbagai trik membuat film dokumenter yang baik. Hal paling mendasar, menurut Jamal, adalah kekuatan riset. Jika risetnya bagus dan berhasil, maka jaminan 75% film dokumenter juga akan baik.
“Riset adalah bagian penting dari pra produksi. Dalam riset bukan hanya soal bagaimana kondisi lapangan tetapi juga merancang konsep-konsep audio dan visual atas film yang akan dibuat,” terang Jamal.
Kepada mahasiswa dan calon mahasiswa yang meminati dunia film dokumenter Jamal berpesan agar tidak membuang waktu sia-sia untuk merancang dan menulis naskah berdasarkan riset yang baik. Tidak ada proses yang instant. Semua harus ditekuni.
“Sejak riset dilakukan harus sudah mulai dibangun kesadaran audio dan visual. Selanjutnya fakta-fakta harus direkam atau dituturkan secara kreatif agar lebih mudah dan jelas dan menarik bagi penonton,” pesan Jamal.
Sharing session bersama alumni Komunikasi UMM akan menjadi tradisi untuk berbagi pengalaman dan inspirasi. Sekretaris Prodi Komunikasi UMM, Widiya Yutanti mengatakan pihaknya akan mengundang alumni-alumni yang berhasil dan bekerja di berbagai bidang baik di dalam maupun di luar negeri.
“Selama masa karantina Covid-19 ini kita harus tetap produktif dan memperoleh ilmu-ilmu dan pengalaman dari para alumni. Ini akan jadi tradisi transformasi yang baik sehingga banyak mahasiswa dan calon mahasiswa yang terinspirasi,” tutur Widiya.
Sebelumnya, minggu lalu sesi berbagi menghadirkan nara sumber alumni yang kini menjadi senior copy writer, Cilla Tirta. Minggu-minggu depan alumni lain juga akan ambil bagian dalam sesi menarik ini. (nas)