Dini Fitria, jurnalis dan penulis buku Scapa per Amore |
Sebanyak 50 mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mendapatkan tamu istimewa, Senin (18/11). Jurnalis Trans 7, Dini Fitria, memberi kuliah tamu berupa bedah buku novel karyanya berjudul ‘Scapa per Amore’, sebuah karya novel kisah nyata perjalanan jurnalistiknya di enam negara di Eropa.
Di Trans 7, Dini juga dikenal sebagai presenter sekaligus produser untuk program “Si Bolang” dan “Jazirah Islam”. Pengalaman jurnalistiknya berkeliling Indonesia untuk Si Bolang dan 16 negara untuk Jazirah Islam membuat mahasiswa antusias mendengarkannya.
“Awalnya saya ingin jadi dosen seperti kedua orang tua saya. Tapi ruapamnay kurang beruntung, meski yakin lulus tes, nyatanya tidak diterima. Ya sudahlah, akhirnya saya mencoba keberuntungan di dunia televisi,” kisah Dini mengawali materinya.
Kecintaannya pada dunia jurnalistik menjadikannya memiliki semangat beru menghadapi tantangan. Tak jarang dia termakan oleh tekadnya sendiri, yakni akan tetap tegar menghadapi tantangan bagaimanapun keadaannya. Dan benar saja, tantangan ketika meliput ternyata jauh lebih dahsyat daripada yang dibayangkannya.
Pengalaman selama liputan di Jerman, Prancis, Spanyol, Italia, Austria, dan Portugal membuat Dini tertarik untuk menulisnya ke dalam sebuah buku. Maka dibuatlah sebuah novel perjalanan jurnalistik itu dengan judul berbahasa Itali, Scapa per Amore yang berarti lari karena cinta. Novel ini bercetita seorang jurnalis yang menemukan sejatinya cinta justru ketika dia lari dari kisah pedih cintanya dengan tunangan yang akhirnya diputus. Cinta sejati itu adalah menemukan Islam dari banyak mualaf di Eropa yang menjalani sulitnya hidup dan tetap tabah dan kuat memegang prinsip Islam.
“Ada yang mengenal Islam melalui fotografi, ada pula yang karena menjadi suami dari muslimah Indonesia. Bahkan saya menemui walikota satu-satunya yang muslim di Italia,” terang Dini. Sebagian besar mereka merupakan keluarga kaya raya, tetapi merelakan hidupnya untuk menemukan kebenaran, bukan dengan kekerasan.
Ditanya oleh peserta, apa saja tantangan meliput di luar negeri, Dini menjawab banyak tantangan. Salah satunya stigma Islam yang masih sangat stereotype. “Saya sempat digeledah, ditelanjangi ketika mau masuk Argentina. Dianggap teroris karena memakai jibab,” kata Dini menceritakan salah satu tantangan itu. Berkat komunikasinya yang baik dengan berbagai pihak, semuanya dapat diatasi.
Tantangan terberat adalah mencari nara sumber muslim di negara-negara minoritas muslim. “Tidak hanya karena saya muslimah, sesama muslim pun saya sering dicurigai,” lanjut Dini didampingi moderator kepala Humas UMM, Nasrullah.
Dalam diskusi, Dini menyelipkan pesan-pesan mendalam dari pada mualaf yang ditemuinya. Tak jarang kutipan-kutipan yang ditulis di novelnya tersbeut membuat mahasiswa ikut terenyuh. Apalagi ketika ditayangkan salah satu episod liputan di Cordova Spanyol. Di katedral yang dulunya merupakan masjid itu, Dini tak kuat menahan air mata karena sisa-sisa kejayaan Islam masih begitu kuat terasa. Kini kejayaan itu telah menjadi milik orang lain.
“Kisah jurnalistik ini sangat inspiratif. Kami ingin menggali lebih dalam lagi bagaimana seorang perempuan sanggup menjalaninya, walau tantangannya jauh lebih berat,” kata Zulfikar, salah seorang peserta.
Dini mengatakan, untuk menjadi jurnalis tak hanya kemampuan menulis saja yang diperlukan, tetapi juga mentalitas baja, kejelian melihat situasi dan harus menjaga hubungan dengan nara sumber. “Hikmahnya, seandainya saya ke Eropa lagi, saya tak akan mengalami kesulitan karena semua pasti akan sangat wellcome menyambut saya,” ujarnya sambil tersenyum bangga. (ayu/nas)