Widiya Yutanti, M.A usai memberikan materi seminar
Media memang memiliki kuasa untuk menentukan seperti apa isu-isu antarbudaya. Setidaknya pendapat dari Adorno dan John Fiske terkait media power menjadi gambaran bahwa media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Widiya Yutanti, M.A, dosen Ilmu Komunikasi UMM yang menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Internasional Intercultural Communication and Practices in Indonesia, Poland, India dan Ukraine, mengatakan bahwa Indonesia dengan predikat sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia adalah tantangan tersendiri dalam konteks intercultural.
Setidaknya ada 707 bahasa yang digunakan di seluruh Indonesia. “Isu intercultural adalah isu yang sensitif tetapi seksi ketika dikaitkan dengan politik, agama, dan kepentingan tertentu. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Keberagaman yang dimiliki Indonesia memunculkan banyak isu intercultural yang muncul di media. Kecemasan, ketidakpastian dalam komunikasi menimbulkan lack of understanding yang disebabkan (salah satunya) oleh perbedaan budaya,”ungkap dosen alumni Griffith University, Australia ini. Seminar internasional yang diadakan oleh FISIP dalam rangkaian Dies Natalis 50th FISIP ini juga menghadirkan tiga pembicara dari tiga negara berbeda. Diantaranya adalah Maria Anna Ochwat, PhD dari Polandia, Daria Goriacheva,M.A dari Ukraine dan Priya Rani Baghat,M.A dari India. Seminar internasional ini diadakan di Aula BAU pada 7 Maret 2018 dan dihadiri sekitar 200 mahasiswa.
Foto bersama pembicara, panitia dan dekanat
Terkait konstruksi isu yang dibuat oleh media, Widiya mengatakan bahwa media melakukan penggambaran isu melalui dua jenis. Pada berita, penggambaran isu intercultural dilakukan melalui imbalance coverage, tidak menggunakan sumber yang kredibel, bias, hyperbolic, bahkan terkadang justru dramatis dan sensasional. Pada jenis produk entertainment dan iklan, konstruksi dilakukan melalui stereotype-stereotype.
Hoax juga menjadi ‘sarana’ yang makin melengkapi ‘dagangan konstruksi’ yang dilakukan oleh media. Saat ini fenomena hoax cukup meresahkan masyarakat. “Oleh karena itu penting sekali kita menggalakkan media literasi di kalangan masyarakat, agar hoax tidak menjadi komoditas dagangan yang meresahkan masyarakat,”jelas Widiya. Belum lagi saat ini isu terkait Islamophobia juga menjadi salah satu isu intercultural yang muncul di media. Maria Anna, salah satu pembicara seminar mengatakan bahwa Islamophobia muncul karena pelakunya kurang informasi terkait Islam. “Saya tidak takut Islam, orang Islam itu baik-baik kok orangnya. Saya tidak peduli pada agama, tapi saya focus pada human being. Orang harus cukup informasi agar tidak gampang terjebak Islamophobia,”ungkap Maria yang disambut tepuk tangan para peserta seminar. (wnd)