• komunikasi.umm.ac.id

GARAMKU TAK ASIN LAGI MENANG EAGLE AWARD

Wednesday, November 07, 2012 13:31 WIB

Jamaluddin Phonna (kanan), mahasiswa komunikasi angkatan 2009 merebut "Eagle Award Metro TV" (2011)

 

Mungkin bagi sebagian besar anak-anak Ilmu Komunikasi angkatan 2009 sosok pemuda berkulit sawo matang ini, sudah tak asing lagi. Pemuda yang berasal dari kota Serambi Mekkah ini, tahun lalu berhasil membuat prestasi dengan film dokumenternya yang berjudul “Menjemput Ilmu di Sarang Peluru”.Ya, pemuda ini adalah Jamaluddin Phonna.

Jamal, begitu ia biasa dipanggil telah menorehkan prestasi kembali. Bagi yang sudah menonton Jamal di layar kaca tentunya sudah mengetahui bahwa ia lolos lima besar Eagle Award Metro TV. “Alhamdulillah kami berhasil lolos dari 250 proposal peserta se-Indonesia”, terang Jamal. Eagle Award Metro TV sendiri merupakan ajang kompetisi bergengsi di bidang film dokumenter. Peserta yang lolos lima besar kemudian berhak memproduksi film dokumenter sesuai dengan tema yang telah ditentukan.

Tentu prestasi yang telah diraih Jamal merupakan hal yang membanggakan mengingat betapa sulit dan panjangnya proses untuk menjadi lima besar. Selain itu, apa yang sudah diraih olehnya semakin menguatkan Ilmu Komunikasi UMM menjadi langganan prestasi di ajang kompetisi bergengsi Eagle Award. Jamal telah meneruskan tongkat estafet yang sebelumnya lebih dulu diraih oleh pendahulu-pendahulunya.

Sama seperti film Menjemput Ilmu di Sarang Peluru yang ia buat sebelumnya, dalam memproduksi Garamku Tak Asin Lagi ini, Jamal tidak sendiri. Ia tetap bersama Azhari, mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan UMM sebagai rekannya. Hanya  saja bila dalam film sebelumnya Azhari sebagai assisten sutradara, kali ini konsepnya mereka berdua sama-sama menjadi sutradara.

Film dokumenter Jamal dan Azhari tersebut kini tengah dalam proses editing dan diberi judul “Garam Ku Tak Asin Lagi”. Menceritakan tentang sekelompok perempuan Aceh yang mayoritasnya adalah janda, berusaha mempertahankan produksi garam Aceh dengan cara yang tradisional ditengah monopoli garam impor. Ide cerita filmnya sendiri, kata Jamal, merupakan ide dari Azhari rekannya.

Bagi Jamal dan Azhari, banyak pesan yang terkandung dalam fenomena tersebut sehingga mereka merasa perlu untuk mengangkatnya dalam sebuah film dokumenter. “Daerah atau negeri kita ini mempunyai potensi alam yang tidak kalah dengan negara lain, jadi kenapa kita harus terus mengimpor hasil alam dari negara lain. Tinggal kita mau memberdayakan atau tidak mau cinta produk sendiri atau tidak,” tutur Jamal. Ia juga mengatakan bahwa upaya untuk mencintai produk negeri kini mulai ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal tersebut sungguh ironis tentunya mengingat begitu banyak sebenarnya potensi yang belum dimanfaatkan. Melalui film ini Jamal berharap dapat membuat khalayak luas untuk lebih mencintai produk negeri mereka sendiri.

Kepada pemerintah Jamal berpesan agar sekiranya bisa memberdayakan serta memperhatikan hasil negeri ini. Mengingat sebenarnya peran pemerintah sangat berperan untuk mengontrol hal tersebut. Sedangkan kepada masyarakat Indonesia, ia berpesan agar bersama-sama belajar dan mencoba untuk lepas dari ketergantungan barang-barang impor. ”Dengan memberdayakan produk sendiri kita membantu bangsa ini untuk lebih maju ke depannya dengan mampu menyokong perekonomian secara mandiri,”imbuhnya.

Begitu banyak ilmu dan pengalaman yang didapat oleh Jamal. Mengikuti kompetisi tersebut menambah wawasannya mengenai dunia dokumenter professional. Untuk kedepannya Jamal berharap agar Metro TV tetap menyelenggarakan Eagle Award karena ajang kompetisi itu telah menghasilkan sineas-sineas muda dokumenter yang peka dengan fenomena sosial yang ada di Indonesia. (mit)
Sumber: Communitacion Newsletter/Agustus 2011

Shared: